Judul
Resensi : Pilihan dan yang Tak Terpilih
Judul
Novel : Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia
Tahun
Terbit : 2011, Cetakan ke-7
Tebal
Buku : 408 halaman; 21 cm
Tentang
Dia
Seorang penulis dengan kemahiran
merangkai kata dengan syahdu kembali menghadirkan sesuatu yang baru. Meskipun,
novel fiksi ini penyatuan dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus
Dinihari, dan Jantera Bianglala, dengan memasukkan kembali bagian yang
tersensor 22 tahun, novel ini telah sampai pada cetakan ke tujuhnya pada
November 2011 lalu. Novel trilogi ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Jepang,
Jerman, Belanda, dan Inggris. Banyak penghargaan yang telah diterimanya seperti
untuk novel Kubah (1980) memenangkan hadiah Yayasan Buku
Utama tahun 1980. Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini
Hari (1985), Jentera Bianglala (1986) meraih hadiah Yayasan Buku
Utama tahun 1986. Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986) menjadi pemenang
salah satu hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979.
Siapakah
si “dia” yang disebut-sebut diatas? Ya, dia adalah Ahamd Tohari. Eyang
kelahiran Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah 55 tahun silam ini
adalah salah satu sastrawan Indonesia. Dia lulusan SMA di Purwokerto, ia juga
pernah mengenyam bangku kuliah di beberapa universitas. Lewat novel-novelnya
Tohari mengungkapkan kebudayaan yang ada pada saat itu, kebodohan yang masih
merajalela pada masanya, dan unsure-unsur mistik yang masih teguh digenggam
oleh masyarakat Dukuh Paruk.
Tokoh
dimulai dari Srintil yang kenes, disambut oleh Rasus yang mendapati sosok Emak dalam
diri Srintil. Kartareja dan istrinya, Nyai Kartareja, yang menjadi dukun
Ronggeng Dukuh Paruk. Sakaraya dan Nyai Sakarya yang merupakan kakek dan nenek
Srintil. Dan tokoh lainnya yang datang bergiliran seperti Sakum, Marsusi,
Bajus, Tampi, Tamir, Goder, orang-orang di Pasar Dawuan, dan lainnya.
Tokoh-tokoh yang menjadi pelengkap sempurnanya alur cerita novel ini.
“Entah sampai kapan pemukiman sempir
dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangnya,
penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya
yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit di tengah Dukuh Paruk
seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh paruk yang
dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit, tak seorangpun penduduknya
memiliki lumbang padi meski yang paling kecil sekalipun. Dukuh Paruk yang
karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam” (halaman 79).
“Selesai berkunjung ke setiap rumah,
Sangkarya kembali mengelilingi pedukuhan. Kali ini dia berjalan di tepian
kampung. Di kaki bukit kecil di pekuburan dukuh paruk Sakarya berdiri bersilang
tangan. Dalam keheningan yang mencekam, laki-laki itu mencoba menghubungkan
batinya dengan ruh Ki Secamenggala atau siapa saja yang menguasai ala Dukuh
Paruk. Sarana yang diajarkan oleh nenek moyangnya adalah seduah kidung yang
dinyanyikan oleh Sangkarya dengan segenap perasaanya, Ana kidung rumeksa ing wengi , Teguh ayu luputing lara, Luputa bilahi
kabeh, Jin setan datan purun, Panuluhan data ana wani, Miwah penggawe ala,
Gunaning wong luput, Geni atemahang tirto, Maling adoh tan ana ngarah mring
mami, Guna duduk pan sirna…”( halaman 30).
Penggalan-penggalan
itu
Novel ini bermula dari Srintil yang
terobsesi dengan Ronggeng, dan berhasil menjadi Ronggeng serta menghidupkan
kembali Dukuh Paruk yang telah lama kehilangan Ronggeng. Ronggeng menurut Dukuh
Paruk adalah nyawa yang sebenarnya, kebudayaan mengajarkan bahwa seorang
Ronggeng adalah sosok yang di dalam dirinya terdapar indang Ronggeng. Sakum, seorang penabuh calung yang buta,
mengatakan indang Ronggeng itu ada
dalam diri Srintil. Dengan menjadi Ronggeng berarti Srintil harus melepaskan
Rasus, karena menjadi Ronggeng berarti dia milik umum bukan hanya milik Rasus.
Rasus pun harus melepaskan Srintil,
dalam bayangannya terdapat sosok emak yang selama ini hilang tanpa
kabar, entah tewas karena petaka tempe bongkrek atau dibawa kabur oleh mantri.
Dilanjutkan dengan perjuangan Rasus
dari pesuruh di Pasar Dawuan menjadi pembantu tentara hingga menjadi tentara
angkatan dua. Rasus yang mencoba menghilangkan Srintil dalam pikirannnya atau
sosok emak dalam diri Srintil. Kebencian terhadap Dukuh Paruk yang telah
merebut Srintil dalam angannya mulai luntur baris demi baris berganti dengan
keinginan merubah dukuh paruk menjadi kampung yang tidak dipenuhi dengan
kemelaratan, kebodohan, kecabulan, keterbelakangan, dan sumpah serapah.
“Lama sekali aku mengembara dalam
alam perenungan sebelum aku akhirnya memperoleh jawaban yang memadai. Jawaban
itu datang bersamaan dengan munculnya kesadaran bahwa sejauh ini aku telah
keliru bersikap terhadap Dukuh Paruk. Selama ini aku mencintai Dukuh Paruk
dengan cara membiarkannya terlelap dengan mimpi cabul, mengigau dengan segala
sumpah serapah. Aku telah sekian lama membiarkan kumbang tahi berterbangan
bebas, membiarkan koreng merayapi kaki dan tangan anak-anak sedarah dan
membiarkan mereka puas makan singkong. Aku alpa membiarkan tanah airku yang
kecil buta dan pekak terhadap kasih sayang…Mengajak Dukuh Paruk menyelaraskan
diri dengan selera Ilahi adalah mengajak orang-orang di sana membersihkan diri
dari koreng, dari ciu, dari omong cabul, dan dari kesewenangan birahi…”
(halaman 391-392).
Di sisi lain, Srintil berjuang penuh
peperangan hati karena kejadian-kejadian yang telah dilewatinya.
Pengalaman-pengalaman menjadi Ronggeng yang menjadikannya bagaikan duta
perempuan yang harus mengerti laki-laki dengan kelakilakiannya. Perang batin
terjadi dengan begitu eloknya, menyebabkan perubahan drastis dalam diri Srintil.
Dia menolak orang-orang yang mau menggunakan jasanya dan salah satunya adalah
Marsusi. Hingga kehampaan dirasakan jiwa terdalamnya, dan membuatnya
berkeinginan menjadi somahan yakni
perempuan yang mengerti dan mau mengurusi keperluan dapur (halaman 337).
Keinginan
itu hampir dicapainya dengan Bajus, orang Jakarta. Namun, tidak ada yang
menyangka bahwa Bajus hanya memanfaatkan Srintil untuk urusannya dengan bosnya,
pak Blengur. Nurani berbicara, bahkan untuk orang yang suka berpetualang
seperti pak Blengur masih memikirkan kesucian niat Srintil menjadi somahan.
“ Ya. Berilah dia kesempatan
mencapai keinginanya menjadi seorang ibu rumha tangga. Masih banyak perempuan
lain yang dengan sukarela menjadi objek petualangan. Jumlah mereka tak akan
berkurang sekalipun Srintil mengundurkan diri dari dunia lamaya” (halaman 385).
Setelah pengalaman pahitnya kepada
siapakah Srintil memberikan serpihan-serpihan hatinya yang sudah sering hancur?
Apakah kepada Rasus yang menjadi tentara? Ataukah kepada Marsusi yang masih
mengharapkannya.
Menariknya
Ada hal yang paling menarik dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, yakni setting novel yang menggambarkan salah
satu kebudayaan Indonesia. Keindahan alam dengan tatanan yang runtut menjadikan
pembaca akan masuk ke dalam setting cerita. Suasana yang begitu murni,
menunjukkan alam dengan keperawanannya.
Gambaran-gambaran alam pada
novel-novel Ahmad Tohari tidak terlepas dari pengalaman hidup kedesaannya. Maka
warna hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam. Pernyataan
selanjutnya dapat diringkas bahwa Tohari memiliki kesadaran dan wawasan alaam
yang begitu jelas terlihat pada tulisan-tulisannya.
Setting alam pedesaan begitu kental
dengan masyarakat di dalamnya. Novel karangan Ahmad Tohari memang salah satu
novel yang selalu menggambarkan alam dengan keindahan dan keelokkannya
tersendiri. Keelokan itu dilukiskan Tohari dengan begitu adanya, tak ada kesan
paksaan dalam setting novel tersebut.
Begitupun dengan novelnya Ronggeng
Dukuh Paruk yang begitu kental dengan aroma alam dan budaya. Pada bab 1 bagian
novel pertama Catatan Buat Emak dimulai dengan “ Sepasang burung bangau
melayang meniti angin, berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekalipun
mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking
seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus
kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka merindukan amparan lumpur
tempat mereka mencari mangsa: katak, ikan, udang, atau serangga air
lainnya.” Dalam cerita selanjutnya juga
banyak yang mengutarakan ciptaan Allah berupa binatang ataupun pemandangan
alam. Pembaca akan dengan mudah membayangkan pemandangan alam yang tertulis
dalam novel.
Contoh
lainnya adalah “ Di pelataran yang membatu di bawah pohon
nangka. Ketika angin tenggara bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang
selalu mekar di musim kemarau. Ketika sinar matahari mulai meredup di langit
barat.” (Halaman 13). Atau “Tetes-tetes air yang tersisa di pucuk-pucuk daun
jatuh ke bawah. Bunyi keletak-keletik terdengar bila butir air itu menimpa daun
pisang atau daun keladi. Seekor burung celepuk hinggap tenang pada sebuah dahan
yang rendah. Matanya yang awas menatap ke permukaan air di kubangan. Bila
melihat katak, burung malam itu menukik tanpa suara, hinggap di dahan lagi
dengan korban di mulutnya. Perburuan baru akan berhenti bila tembolok burung
celepuk itu telah penuh daging segar. Pertanda telah kenyang, dia akan
mengeluarkan suara berat: guk-guk-guk, hrrrrr. Suara hantu. Suara yang membuat
setiap anak yang mendengarnya segera mencari selangkangan ibunya.” (Halaman
22).
Tema yang diambil oleh Ahmad Tohari
lebih kepada sisi feminisme. Tokoh-tokoh utamanya digambarkan dengan kecantikan
dan kesempurnaan rupa, Selain tema tentang sisi feminisme, bertema juga tentang
perkembangan zaman pada saat itu. Novel-novelnya adalah Novel yang mendapat
pengaruh kuat dari budaya barat, dimana tokoh utamanya mempunyai konflik dengan
pemikiran timur dan mengalahkan tokoh antagonisnya. Dalam novelnya juga
terdapat konsepsi pembebasan kata dari pengertian aslinya.
Konsepsi pembebasan kata dari
pengertian aslinya jelas terjadi. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk misalnya,
kata “petualang” yang berarti orang yang suka mencari hal yang baru yang belum
pernah dirasakan atau dilakukannya. Dalam novel ini hal yang baru adalah pasangan selain pasangan sahnya. Kebebsan ini
juga dirasakan dalam alur ceritanya, yang memperlihatkan sisi erotic secara
tersirat.
Kalau
untuk saya sendiri, paling suka ketika Tohari menceritakan perjuangan tokoh
utama laki-laki; Rasus. Perjuangan hidup disakiti Dukuh Paruh yang mengambil
Srintil dan bayangan emak darinya. Dengan tekad yang kuat dan rasa benci yang
dalam, dia menaklukan masalah yang dihadapinya. Sampai pada kenyatan yang
mengharuskannya tetap berhubungan dengan Dukuh Paruk dan keterbelakangannya.
Perang batin yang dilaluinya dalam memilih focus menjadi tentara atau menikah dengan
Srintil menjadikan sesuatu yang menarik.
Ada
juga beberapa bagian yang menggambarkan tokoh utama perempuan Srintil yang
menjadi kesukaan saya. Yakni ketika tokoh Srintil mengalami tekanan batin dan
tersentuhnya bagian paling dalam nurani yang menbuatnya dapat melihat jalan
mana yang akan dipilih. Dalam garis besarnya, pembaca akan menyukai saat
pilihan jatuh kepada para tokoh utama baik perempuan maupun laki-laki.
Diantara
Keduanya
Cover yang dipakai pada cetakan ke
tujuh ini adalah gambar dari pemain “ Sang Penari” yang dibintangi oleh Prisia Nasution sebagai
Srintil dan Oka Antara sebagai Rasus. Sang penari sendiri adalah film yang terinspirasi
dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Ceritanya menampilkan novel ini walaupun hanya
sepotong-sepotong. Dalam film ini terdapat banyak sensor yang mengakibatkan
kurang maksimalnya alur cerita. Namun, dalam garis besarnya film ini sudah
menunjukkan muatan yang dikandung oleh novel Ronggeng Dukuh Paruk. Bahkan film
ini telah di terjemahjkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi “The Dancer”. Hanya
disayangkan akhir film ini berbeda dari novelnya.
Seperti dalam novelnya Ronggeng
Dukuh Paruk yang menggelar paronama alam dengan keluguan dan kepolosannya.
Novel Bekisar Merah, Ahmad Tohari juga menampilkan alam yang sangat kuat
sehingga pembaca dapat merasakan alam itu begitu dekat dengannya. Dalam novel
Bekisar Merah kita juga dapat merasakan sejuknya angin pagi yang semilir,
menyaksikan burung jalak yang memberi makan anaknya, kelentang-kelentang bunyi
pokor (bambu untuk menadah getah nira), atau
gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat
batu-batu berlumut.
Penggunaan setting alam yang sama
antara novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah menunjukkan kecintaan
Tohari akan alam yang kaya akan kebudayaan dan adat istiadat dalam daerahnya
masing-masing. Meskipun begitu, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat
perbedaan yang begitu mencolok dari novel Bekisar Merah. Kebudayaan yang
berbeda dari keduanya ditunjukkan dengan adanya diksi yang berbeda.
Contohya saja pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, “ Lalat
berhamburan. Seekor burung sikatan mencecet menyambar makanannya, lalat hijau.
Sesekali burung kecil yang gesit itu terbang menyambar agas yang berputar-putar
di atas kepala si bocah. Liang kumbang tahi ada di mana-mana di sekitar kakus.
Serangga kotor ini mempunyai cara yang aneh bila hendak membawa tinja ke
liangnya. Ia berjalan mundur sambil menolak bulatan kotoran manusia sebesar buah
jarak dengan kaki-kaki belakangnya. Alam yang bijaksana, telah mengajari bangsa
kumbang tahi. Walaupun ia berjalan mundur, lintasan jalannya akan berakhir
persis di mulut liang. Di sana gumpalan tinja
itu ditolak ke dalam tanah. Di sana pula bangsa kumbang tahi menaruh telur bagi
kelangsungan hidup jenisnya.” ( Halaman 23).
Bandingkan dengan diksi dari novel Bekisar Merah, “Pada
sebuah kelokan Kalirong, sebatang beringin yang amat besar tumbuh di
tepiannya. Buahnya yang kecil dan bulat
sering jatuh ke air oleh gerakan berbagai jenis burung yang sedang berpesta
dalam kerimbunan daun pohon besar itu. Plang-plung suara buah beringin menimpa
air, memecah sunyi. Dan suara itu segera berubah menjadi rentetan bunyi yang
lembut tetapi aneh ketika lebih banyak buah beringin runtuh oleh tiupan angin.
Seekor burung merah yang sangat mungil terbang-hinggap pada ranting beringin
yang menjulur, menggantung hampir menyentuh air, menggoyang tangkai-tangkai
benalu yang tumbuh di sana. Beberapa butir buah jatuh dan lagi-lagi plangplung.
Ada daun kering ikut luruh menerpa permukaan air, berkisar sejenak lalu hanyut
dan hilang di balik bongkah cadas hitam. Ada sehelai daun ilalang yang terus
bergerak berirama karena ujungnya menyentuh aliran air. Seekor kodok tiba-tiba
terjun dan mencoba menyelam untuk menyelamatkan diri. Tetapi penyerangnya,
seekor ular ubi, tak kalah cepat. Ceot-ceot, suara kodok yang sedang mempertahankan diri dalam mulut ular.
Ceot-ceot, makin lama makin lemah. Dan
akhirnya hilang setelah kodok itu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh ular”.
Memang pada keduanya menggunakan hewan sebagai salah satu sarana yang
digunakan Tohari untuk menunjukkan keadaan alamnya. Namun, jika dibaca kata-kata
dan hewan yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sedikit kasar dan nyeleneh. Bandingkan dengan diksi yang
dipilih dalam Bekisar Merah, akan ada kelembutan dan ketenangan dalam
tulisanya. Hal ini dikarenakan perbedaan budaya yang melingkupi kedua novel
tersebut. Dukuh Paruk dengan berbagai
kemelaratannya, keterbelakangnya,
sumpah serapah, dan kecabulannya
memberikan kesan kasar, urakan, dan nyeleneh. Ujaran-ujaran yang diucapkan
terkadang menjadikan kata-kata terdengar lucu. Sedangkan Bekisar Merah meskipun
ada beberapa hal yang kasar, dalam keseluruhan lebih halus daripada Ronggeng
Dukuh Paruk.
Inilah
kelebihan dalam novel tersebut, di dalamnya kita akan lebih menyelami
kebudayaan Ronggeng Dukuh Paruk. Karena novel ini mempunyai kekhasan tersendiri
dengan menceritakan kronologi-kronologi atau problem-problem yang dihadapi pada
sebuah kebudayaan asli yang terdapat di Indonesia. Selain itu, kelebihan dalam
novel ini adalah tidak ditemui kesalahan dalam pengetikan. Ceritanya yang dapat
memberikan insiprasi kepada para pembacanya tentang hati nurani yang masih
berfungsi walaupun sekelam apapun seseorang itu.
Bahasa yang digunakan ada kalanya
begitu sopan dan ada kalanya begitu urakan,
sehingga untuk hal pemilihan diksi saya sedikit bingung apakah ini masuk ke
dalam kelebihan atau kekurangan. Satu hal yang jelas bahwa dengan penggunaan
diksi yang urakan menunjukkan ciri
khas kebudayaan novel tersebut.
Tema feminisme novel-novelnya misalkan
Srintil pada novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Lasi pada novel Bekisar Merah serta
pada novel Belantik. Jalan cerita yang
hampir sama antara novel Ronggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah dan Belantik yang
merupakan dwilogi dari novel Bekisar Merah. Tentang perempuan dengan berjuta
rintangan dan halauan yang menghalang. Berjuang di antara kejamnya dunia yang
menghujat perempuan, hingga cintapun didapatkannya dengan pengorbanan yang luar
biasa. Kedua novel ini menggambarkan perempuan pada sisi yang paling primitif,
dengan menyentuh asas-asas keperempuanan.
Sama halnya dengan tokoh Srintil
dalam Ronggeng Dukuh Paruk, tokoh Lasi dalam Bekisar Merah dan Belantik juga
mengalami permasalahan yang tidak biasa dihadapi masyarakat pada zaman
tersebut. Ini menunjukkan pengaruh yang
kuat dari budaya barat. Dengan pemikiran sederhana, mereka berhasil keluar dari
kesulitan, meskipun akan ada kesulitan yang lain. Dan pada kedua novel ini,
masing-masing telah mengalahkan tokoh antagonisnya. Srintil yang terbebas dari
“kurungan ke-Ronggeng-an” dan terbebas dari apa yang mengganggu hatinya. Begitu
juga dengan Lasi pada novel Belantik yang terbebas dari dunia hitam yang tidak
sengaja dimasukinya.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah
novel yang ditulis dengan apiknya oleh Ahmad Tohari. Namun, dalam keapikannya
itu ada hal-hal yang perlu diperbaiki lagi sehingga menjadi lebih bagus. Dalam
novel banyak didapati tembang-tembang Bahasa Jawa, ada beberapa tembang yang
tidak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Sehingga, apabila ada orang yang tidak
mengerti akan kebingungan. Seperti pada halaman 18, di sana tidak terdapat arti
ke Bahasa Indonesia.
Novel ini benar-benar berbeda,
walaupun ada satu atau dua hal yang sama seperti novel karya Ahmad Tohari yang
lain, namun memiliki kekhasan tersendiri. Saran saya kepada pembaca adalah jika
pembaca menginginkan suatu inspirasi, maka novel inilah yang paling tepat
karena pada kebudayaan dan kehidupan asli Dukuh Paruk ternyata menyimpan
insiparasi yang sangat bagus. Novel ini juga menunjukkan sesuatu yang
simple, tidak berbelit-belit namun tetap
memberikan hal yang menarik.