Senin, 03 Maret 2014

Awal psikolinguistik

Nama : Febriarni Fatiha Falahallaily Futih
NIM  : A310120192
Kelas : 6 F

          Linguistik adalah disiplin yang menggambarkan struktur bahasa, termasuk tata bahasa, sound system, dan kosa kata. Bidang psycolinguistics, atau psikologi bahasa, berkaitan dengan penemuan proses psikologis dimana manusia mendapatkan dan menggunakan bahasa. Secara konvensional, psikolinguistik alamat tiga keprihatinan utama (Clark dan Clark, 1977; Tanenhaus, 1989);            
          1. Pemahaman: bagaimana orang-orang memahami bahasa lisan dan tertulis. Ini adalah wilayah luas penyelidikan yang melibatkan pengawasan dari proses pemahaman di berbagai tingkatan, termasuk penyelidikan bagaimana sinyal suara diinterpretasikan oleh pendengar, bagaimana makna dari kata-kata yang ditentukan, bagaimana struktur gramatikal kalimat dianalisa untuk mendapatkan unit yang lebih besar dari yang berarti, dan bagaimana percakapan yang lebih panjang atau teks secara tepat dirumuskan dan dievaluasi. Kekhawatiran khusus relevan dengan bagaimana bahasa tertulis adalah proses yang juga merupakan bagian dari domain ini.       
          2. Produksi ujaran: bagaimana orang memproduksi bahasa. bab-bab selanjutnya menunjukkan bahwa itu agak lebih mudah untuk mempelajari pemahaman daripada produksi, kita dapat menggunakan rangsangan bahasa terkendali dan kemudian menganalisa pola akurasi dan error, waktu respon, dan perilaku lain untuk sampai pada perkiraan berapa bahasa proses listerners. Namun, lebih sulit untuk mendapatkan wawasan tentang bagaimana konsep-konsep yang dimasukkan ke dalam bentuk bahasa, proses ini sebagian besar tersembunyi dari pengamatan, dan ekspresi verbal pembicara, bahkan dalam respone untuk lebih dikontrol rangsangan memunculkan, bervariasi.               3. Akuisisi: bagaimana orang belajar bahasa. fokus utama dalam domain ini telah tentang bagaimana anak-anak memperoleh bahasa pertama (psikolinguistik perkembangan) psikolinguistik perkembangan telah menjadi, dengan sendirinya, disiplin formidably besar dengan beragam jurnal, teks, dan monograf khusus ditujukan kepada masalah ini. 
     Setelah membaca pengertian yang diberikan Clark di atas, menurut saya psikolinguistik adalah salah satu cabang makro ilmu linguistik. linguistik merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana bahasa baik secara tertulis atau lisan dihasilkan. yang di dalamnya terdapat struktur pembentuk, tata bahasa, pengucapan, dan kosa kata. psikolinguistik sendiri merupakan interdisiplier artinya menggabungkan dua ilmu yang berbeda, terdiridari psikologi dan linguistik. Psikologi yang merupakan ilmu tentang jiwa dan linguistik yang merupakan ilmu tentang bahasa. sehingga kita dapat memberikan pengertian bahwa psikolinguistik adalah perilaku berbahasa. Karena, ketika kita ingin berbahasa dengan orang lain di sekitar kita, sebelumnya kita harus memiliki kemampuan atau harus ada pengalaman belajartentang bahasa. Jelas kita tidak akan berbahasa dengan baik kepda orang disekitar kita apabila kita tidak mengenal pola atau struktur dalam bahsa. misalnya saja dalam berkomunikasi dengan orang lain maka kita harus memiliki bahasa yang bagus agar komunikasi yang akan terjalin berjalan lancar. kita juga harus memperhatikan pemahaman tentang bagaimna struktur bahasa yang bail, selian itu, diperhatikan juga proses produksi ujaran.

Rabu, 26 Juni 2013

Pilihan dan Yang Tak Terpilih



Judul Resensi  : Pilihan dan yang Tak Terpilih
Judul Novel     : Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang       : Ahmad Tohari
Penerbit           : Gramedia
Tahun Terbit    : 2011, Cetakan ke-7
Tebal Buku      : 408 halaman; 21 cm

Tentang Dia
            Seorang penulis dengan kemahiran merangkai kata dengan syahdu kembali menghadirkan sesuatu yang baru. Meskipun, novel fiksi ini penyatuan dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jantera Bianglala, dengan memasukkan kembali bagian yang tersensor 22 tahun, novel ini telah sampai pada cetakan ke tujuhnya pada November 2011 lalu. Novel trilogi ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris. Banyak penghargaan yang telah diterimanya seperti untuk novel Kubah (1980) memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1980. Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jentera Bianglala (1986) meraih hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1986. Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986) menjadi pemenang salah satu hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979.
            Siapakah si “dia” yang disebut-sebut diatas? Ya, dia adalah Ahamd Tohari. Eyang kelahiran Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah 55 tahun silam ini adalah salah satu sastrawan Indonesia. Dia lulusan SMA di Purwokerto, ia juga pernah mengenyam bangku kuliah di beberapa universitas. Lewat novel-novelnya Tohari mengungkapkan kebudayaan yang ada pada saat itu, kebodohan yang masih merajalela pada masanya, dan unsure-unsur mistik yang masih teguh digenggam oleh masyarakat Dukuh Paruk.
            Tokoh dimulai dari Srintil yang kenes, disambut oleh Rasus yang mendapati sosok Emak dalam diri Srintil. Kartareja dan istrinya, Nyai Kartareja, yang menjadi dukun Ronggeng Dukuh Paruk. Sakaraya dan Nyai Sakarya yang merupakan kakek dan nenek Srintil. Dan tokoh lainnya yang datang bergiliran seperti Sakum, Marsusi, Bajus, Tampi, Tamir, Goder, orang-orang di Pasar Dawuan, dan lainnya. Tokoh-tokoh yang menjadi pelengkap sempurnanya alur cerita novel ini.
“Entah sampai kapan pemukiman sempir dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangnya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh paruk yang dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit, tak seorangpun penduduknya memiliki lumbang padi meski yang paling kecil sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam” (halaman 79).
“Selesai berkunjung ke setiap rumah, Sangkarya kembali mengelilingi pedukuhan. Kali ini dia berjalan di tepian kampung. Di kaki bukit kecil di pekuburan dukuh paruk Sakarya berdiri bersilang tangan. Dalam keheningan yang mencekam, laki-laki itu mencoba menghubungkan batinya dengan ruh Ki Secamenggala atau siapa saja yang menguasai ala Dukuh Paruk. Sarana yang diajarkan oleh nenek moyangnya adalah seduah kidung yang dinyanyikan oleh Sangkarya dengan segenap perasaanya, Ana kidung rumeksa ing wengi , Teguh ayu luputing lara, Luputa bilahi kabeh, Jin setan datan purun, Panuluhan data ana wani, Miwah penggawe ala, Gunaning wong luput, Geni atemahang tirto, Maling adoh tan ana ngarah mring mami, Guna duduk pan sirna…”( halaman 30).
Penggalan-penggalan itu
Novel ini bermula dari Srintil yang terobsesi dengan Ronggeng, dan berhasil menjadi Ronggeng serta menghidupkan kembali Dukuh Paruk yang telah lama kehilangan Ronggeng. Ronggeng menurut Dukuh Paruk adalah nyawa yang sebenarnya, kebudayaan mengajarkan bahwa seorang Ronggeng adalah sosok yang di dalam dirinya terdapar indang Ronggeng. Sakum, seorang penabuh calung yang buta, mengatakan indang Ronggeng itu ada dalam diri Srintil. Dengan menjadi Ronggeng berarti Srintil harus melepaskan Rasus, karena menjadi Ronggeng berarti dia milik umum bukan hanya milik Rasus. Rasus pun harus melepaskan Srintil,  dalam bayangannya terdapat sosok emak yang selama ini hilang tanpa kabar, entah tewas karena petaka tempe bongkrek atau dibawa kabur oleh mantri.
Dilanjutkan dengan perjuangan Rasus dari pesuruh di Pasar Dawuan menjadi pembantu tentara hingga menjadi tentara angkatan dua. Rasus yang mencoba menghilangkan Srintil dalam pikirannnya atau sosok emak dalam diri Srintil. Kebencian terhadap Dukuh Paruk yang telah merebut Srintil dalam angannya mulai luntur baris demi baris berganti dengan keinginan merubah dukuh paruk menjadi kampung yang tidak dipenuhi dengan kemelaratan, kebodohan, kecabulan, keterbelakangan, dan sumpah serapah.
“Lama sekali aku mengembara dalam alam perenungan sebelum aku akhirnya memperoleh jawaban yang memadai. Jawaban itu datang bersamaan dengan munculnya kesadaran bahwa sejauh ini aku telah keliru bersikap terhadap Dukuh Paruk. Selama ini aku mencintai Dukuh Paruk dengan cara membiarkannya terlelap dengan mimpi cabul, mengigau dengan segala sumpah serapah. Aku telah sekian lama membiarkan kumbang tahi berterbangan bebas, membiarkan koreng merayapi kaki dan tangan anak-anak sedarah dan membiarkan mereka puas makan singkong. Aku alpa membiarkan tanah airku yang kecil buta dan pekak terhadap kasih sayang…Mengajak Dukuh Paruk menyelaraskan diri dengan selera Ilahi adalah mengajak orang-orang di sana membersihkan diri dari koreng, dari ciu, dari omong cabul, dan dari kesewenangan birahi…” (halaman 391-392).
Di sisi lain, Srintil berjuang penuh peperangan hati karena kejadian-kejadian yang telah dilewatinya. Pengalaman-pengalaman menjadi Ronggeng yang menjadikannya bagaikan duta perempuan yang harus mengerti laki-laki dengan kelakilakiannya. Perang batin terjadi dengan begitu eloknya, menyebabkan perubahan drastis dalam diri Srintil. Dia menolak orang-orang yang mau menggunakan jasanya dan salah satunya adalah Marsusi. Hingga kehampaan dirasakan jiwa terdalamnya, dan membuatnya berkeinginan menjadi somahan yakni perempuan yang mengerti dan mau mengurusi keperluan dapur (halaman 337).  
            Keinginan itu hampir dicapainya dengan Bajus, orang Jakarta. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa Bajus hanya memanfaatkan Srintil untuk urusannya dengan bosnya, pak Blengur. Nurani berbicara, bahkan untuk orang yang suka berpetualang seperti pak Blengur masih memikirkan kesucian niat Srintil menjadi somahan.
“ Ya. Berilah dia kesempatan mencapai keinginanya menjadi seorang ibu rumha tangga. Masih banyak perempuan lain yang dengan sukarela menjadi objek petualangan. Jumlah mereka tak akan berkurang sekalipun Srintil mengundurkan diri dari dunia lamaya” (halaman 385).
Setelah pengalaman pahitnya kepada siapakah Srintil memberikan serpihan-serpihan hatinya yang sudah sering hancur? Apakah kepada Rasus yang menjadi tentara? Ataukah kepada Marsusi yang masih mengharapkannya.

Menariknya
Ada hal yang paling menarik dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, yakni setting novel yang menggambarkan salah satu kebudayaan Indonesia. Keindahan alam dengan tatanan yang runtut menjadikan pembaca akan masuk ke dalam setting cerita. Suasana yang begitu murni, menunjukkan alam dengan keperawanannya.
Gambaran-gambaran alam pada novel-novel Ahmad Tohari tidak terlepas dari pengalaman hidup kedesaannya. Maka warna hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam. Pernyataan selanjutnya dapat diringkas bahwa Tohari memiliki kesadaran dan wawasan alaam yang begitu jelas terlihat pada tulisan-tulisannya.
Setting alam pedesaan begitu kental dengan masyarakat di dalamnya. Novel karangan Ahmad Tohari memang salah satu novel yang selalu menggambarkan alam dengan keindahan dan keelokkannya tersendiri. Keelokan itu dilukiskan Tohari dengan begitu adanya, tak ada kesan paksaan dalam setting novel tersebut.
Begitupun dengan novelnya Ronggeng Dukuh Paruk yang begitu kental dengan aroma alam dan budaya. Pada bab 1 bagian novel pertama Catatan Buat Emak dimulai dengan “ Sepasang burung bangau melayang meniti angin, berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekalipun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa: katak, ikan, udang, atau serangga air lainnya.”  Dalam cerita selanjutnya juga banyak yang mengutarakan ciptaan Allah berupa binatang ataupun pemandangan alam. Pembaca akan dengan mudah membayangkan pemandangan alam yang tertulis dalam novel.
Contoh lainnya adalah “ Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau. Ketika sinar matahari mulai meredup di langit barat.” (Halaman 13). Atau “Tetes-tetes air yang tersisa di pucuk-pucuk daun jatuh ke bawah. Bunyi keletak-keletik terdengar bila butir air itu menimpa daun pisang atau daun keladi. Seekor burung celepuk hinggap tenang pada sebuah dahan yang rendah. Matanya yang awas menatap ke permukaan air di kubangan. Bila melihat katak, burung malam itu menukik tanpa suara, hinggap di dahan lagi dengan korban di mulutnya. Perburuan baru akan berhenti bila tembolok burung celepuk itu telah penuh daging segar. Pertanda telah kenyang, dia akan mengeluarkan suara berat: guk-guk-guk, hrrrrr. Suara hantu. Suara yang membuat setiap anak yang mendengarnya segera mencari selangkangan ibunya.” (Halaman 22).

Tema yang diambil oleh Ahmad Tohari lebih kepada sisi feminisme. Tokoh-tokoh utamanya digambarkan dengan kecantikan dan kesempurnaan rupa, Selain tema tentang sisi feminisme, bertema juga tentang perkembangan zaman pada saat itu. Novel-novelnya adalah Novel yang mendapat pengaruh kuat dari budaya barat, dimana tokoh utamanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur dan mengalahkan tokoh antagonisnya. Dalam novelnya juga terdapat konsepsi pembebasan kata dari pengertian aslinya.
Konsepsi pembebasan kata dari pengertian aslinya jelas terjadi. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, kata “petualang” yang berarti orang yang suka mencari hal yang baru yang belum pernah dirasakan atau dilakukannya. Dalam novel ini hal yang baru adalah  pasangan selain pasangan sahnya. Kebebsan ini juga dirasakan dalam alur ceritanya, yang memperlihatkan sisi erotic secara tersirat.
            Kalau untuk saya sendiri, paling suka ketika Tohari menceritakan perjuangan tokoh utama laki-laki; Rasus. Perjuangan hidup disakiti Dukuh Paruh yang mengambil Srintil dan bayangan emak darinya. Dengan tekad yang kuat dan rasa benci yang dalam, dia menaklukan masalah yang dihadapinya. Sampai pada kenyatan yang mengharuskannya tetap berhubungan dengan Dukuh Paruk dan keterbelakangannya. Perang batin yang dilaluinya dalam memilih focus menjadi tentara atau menikah dengan Srintil menjadikan sesuatu yang menarik.
            Ada juga beberapa bagian yang menggambarkan tokoh utama perempuan Srintil yang menjadi kesukaan saya. Yakni ketika tokoh Srintil mengalami tekanan batin dan tersentuhnya bagian paling dalam nurani yang menbuatnya dapat melihat jalan mana yang akan dipilih. Dalam garis besarnya, pembaca akan menyukai saat pilihan jatuh kepada para tokoh utama baik perempuan maupun laki-laki.

Diantara Keduanya
Cover yang dipakai pada cetakan ke tujuh ini adalah gambar dari pemain “ Sang Penari”  yang dibintangi oleh Prisia Nasution sebagai Srintil dan Oka Antara sebagai Rasus. Sang penari sendiri adalah film yang terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Ceritanya menampilkan novel ini walaupun hanya sepotong-sepotong. Dalam film ini terdapat banyak sensor yang mengakibatkan kurang maksimalnya alur cerita. Namun, dalam garis besarnya film ini sudah menunjukkan muatan yang dikandung oleh novel Ronggeng Dukuh Paruk. Bahkan film ini telah di terjemahjkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi “The Dancer”. Hanya disayangkan akhir film ini berbeda dari novelnya.
Seperti dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk yang menggelar paronama alam dengan keluguan dan kepolosannya. Novel Bekisar Merah, Ahmad Tohari juga menampilkan alam yang sangat kuat sehingga pembaca dapat merasakan alam itu begitu dekat dengannya. Dalam novel Bekisar Merah kita juga dapat merasakan sejuknya angin pagi yang semilir, menyaksikan burung jalak yang memberi makan anaknya, kelentang-kelentang bunyi pokor (bambu untuk menadah getah nira), atau  gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat batu-batu berlumut.
Penggunaan setting alam yang sama antara novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah menunjukkan kecintaan Tohari akan alam yang kaya akan kebudayaan dan adat istiadat dalam daerahnya masing-masing. Meskipun begitu, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat perbedaan yang begitu mencolok dari novel Bekisar Merah. Kebudayaan yang berbeda dari keduanya ditunjukkan dengan adanya diksi yang berbeda.
Contohya saja pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, “ Lalat berhamburan. Seekor burung sikatan mencecet menyambar makanannya, lalat hijau. Sesekali burung kecil yang gesit itu terbang menyambar agas yang berputar-putar di atas kepala si bocah. Liang kumbang tahi ada di mana-mana di sekitar kakus. Serangga kotor ini mempunyai cara yang aneh bila hendak membawa tinja ke liangnya. Ia berjalan mundur sambil menolak bulatan kotoran manusia sebesar buah jarak dengan kaki-kaki belakangnya. Alam yang bijaksana, telah mengajari bangsa kumbang tahi. Walaupun ia berjalan mundur, lintasan jalannya akan berakhir persis di mulut liang. Di sana gumpalan  tinja itu ditolak ke dalam tanah. Di sana pula bangsa kumbang tahi menaruh telur bagi kelangsungan hidup jenisnya.” ( Halaman 23).

Bandingkan dengan diksi dari novel Bekisar Merah, “Pada sebuah kelokan Kalirong, sebatang beringin yang amat besar tumbuh di tepiannya.  Buahnya yang kecil dan bulat sering jatuh ke air oleh gerakan berbagai jenis burung yang sedang berpesta dalam kerimbunan daun pohon besar itu. Plang-plung suara buah beringin menimpa air, memecah sunyi. Dan suara itu segera berubah menjadi rentetan bunyi yang lembut tetapi aneh ketika lebih banyak buah beringin runtuh oleh tiupan angin. Seekor burung merah yang sangat mungil terbang-hinggap pada ranting beringin yang menjulur, menggantung hampir menyentuh air, menggoyang tangkai-tangkai benalu yang tumbuh di sana. Beberapa butir buah jatuh dan lagi-lagi plangplung. Ada daun kering ikut luruh menerpa permukaan air, berkisar sejenak lalu hanyut dan hilang di balik bongkah cadas hitam. Ada sehelai daun ilalang yang terus bergerak berirama karena ujungnya menyentuh aliran air. Seekor kodok tiba-tiba terjun dan mencoba menyelam untuk menyelamatkan diri. Tetapi penyerangnya, seekor ular ubi, tak kalah cepat. Ceot-ceot, suara kodok yang  sedang mempertahankan diri dalam mulut ular. Ceot-ceot, makin lama makin  lemah. Dan akhirnya hilang setelah kodok itu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh ular”.
Memang pada keduanya menggunakan hewan sebagai salah satu sarana yang digunakan Tohari untuk menunjukkan keadaan alamnya. Namun, jika dibaca kata-kata dan hewan yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sedikit kasar dan nyeleneh. Bandingkan dengan diksi yang dipilih dalam Bekisar Merah, akan ada kelembutan dan ketenangan dalam tulisanya. Hal ini dikarenakan perbedaan budaya yang melingkupi kedua novel tersebut.  Dukuh Paruk dengan berbagai kemelaratannya, keterbelakangnya, sumpah serapah, dan kecabulannya memberikan kesan kasar, urakan, dan nyeleneh. Ujaran-ujaran yang diucapkan terkadang menjadikan kata-kata terdengar lucu. Sedangkan Bekisar Merah meskipun ada beberapa hal yang kasar, dalam keseluruhan lebih halus daripada Ronggeng Dukuh Paruk.
            Inilah kelebihan dalam novel tersebut, di dalamnya kita akan lebih menyelami kebudayaan Ronggeng Dukuh Paruk. Karena novel ini mempunyai kekhasan tersendiri dengan menceritakan kronologi-kronologi atau problem-problem yang dihadapi pada sebuah kebudayaan asli yang terdapat di Indonesia. Selain itu, kelebihan dalam novel ini adalah tidak ditemui kesalahan dalam pengetikan. Ceritanya yang dapat memberikan insiprasi kepada para pembacanya tentang hati nurani yang masih berfungsi walaupun sekelam apapun seseorang itu.
Bahasa yang digunakan ada kalanya begitu sopan dan ada kalanya begitu urakan, sehingga untuk hal pemilihan diksi saya sedikit bingung apakah ini masuk ke dalam kelebihan atau kekurangan. Satu hal yang jelas bahwa dengan penggunaan diksi yang urakan menunjukkan ciri khas kebudayaan novel tersebut.
Tema feminisme novel-novelnya misalkan Srintil pada novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Lasi pada novel Bekisar Merah serta pada novel Belantik.  Jalan cerita yang hampir sama antara novel Ronggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah dan Belantik yang merupakan dwilogi dari novel Bekisar Merah. Tentang perempuan dengan berjuta rintangan dan halauan yang menghalang. Berjuang di antara kejamnya dunia yang menghujat perempuan, hingga cintapun didapatkannya dengan pengorbanan yang luar biasa. Kedua novel ini menggambarkan perempuan pada sisi yang paling primitif, dengan menyentuh asas-asas keperempuanan.
Sama halnya dengan tokoh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk, tokoh Lasi dalam Bekisar Merah dan Belantik juga mengalami permasalahan yang tidak biasa dihadapi masyarakat pada zaman tersebut. Ini menunjukkan  pengaruh yang kuat dari budaya barat. Dengan pemikiran sederhana, mereka berhasil keluar dari kesulitan, meskipun akan ada kesulitan yang lain. Dan pada kedua novel ini, masing-masing telah mengalahkan tokoh antagonisnya. Srintil yang terbebas dari “kurungan ke-Ronggeng-an” dan terbebas dari apa yang mengganggu hatinya. Begitu juga dengan Lasi pada novel Belantik yang terbebas dari dunia hitam yang tidak sengaja dimasukinya.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel yang ditulis dengan apiknya oleh Ahmad Tohari. Namun, dalam keapikannya itu ada hal-hal yang perlu diperbaiki lagi sehingga menjadi lebih bagus. Dalam novel banyak didapati tembang-tembang Bahasa Jawa, ada beberapa tembang yang tidak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Sehingga, apabila ada orang yang tidak mengerti akan kebingungan. Seperti pada halaman 18, di sana tidak terdapat arti ke Bahasa Indonesia.
Novel ini benar-benar berbeda, walaupun ada satu atau dua hal yang sama seperti novel karya Ahmad Tohari yang lain, namun memiliki kekhasan tersendiri. Saran saya kepada pembaca adalah jika pembaca menginginkan suatu inspirasi, maka novel inilah yang paling tepat karena pada kebudayaan dan kehidupan asli Dukuh Paruk ternyata menyimpan insiparasi yang sangat bagus. Novel ini juga menunjukkan sesuatu yang simple,  tidak berbelit-belit namun tetap memberikan hal yang menarik.